Kamis, 12 Juni 2014

Himmatul ‘Aliyah


Berhubung udah ada yang nagih lanjutan ceritanya karena udah lebih dari 1 pekan maka dengan mengucap Bismillah dengan ini saya persembahkan lanjutan ceritanya. Selamat membaca :)

(bagian 2)

Abi baru saja pulang dari kantor lantas disambut dengan pelukan anaknya yang lucu dan menggemaskan siapa lagi kalau bukan si Alif. Entah kenapa kanak-kanak itu merasa sangat bahagia melihat kedatangan ayahnya yang baru pulang bekerja dari kantor. Padahal setiap hari pun ayahnya selalu menemaninya meskipun di luar hari sabtu dan ahad jam ngobrol Alif dan Abi hanya sekilas setelah sholat Isya sebelum Alif tidur maupun sebelum berangkat kantor. Hanya mungkin lima atau sepuluh menit. Tapi kali ini kanak-kanak itu begitu antusiasnya menyambut sang ayah.

“Abi, abi tadi Alif diajarin nggambar pegunungan sama bu guru. Bagus lho, coba deh lihat”, kata sang anak.
Kata-katanya meluncur bak serbuan pesawat jet Sukhoi dengan kecepatan tinggi. Tidak peduli sang ayah mungkin sedang capek baru pulang dari bekerja.

“Alif, nanti dulu ya ngobrolnya sama Abi. Kasihan Abi kan pasti capek baru pulang dari kantor. Abi makan dulu gih, udah umi siapkan hidangannya di meja”, kata Umi yang baru keluar dari dapur.

“Tapi kan Alif Cuma mau liatin gambar aja ke Abi masa nggak boleh”, protes Alif setengah merajuk.

Dalam hatinya mungkin berkata “Ih, Umi mengganggu kesenangan anaknya aja nih” atau “Umi cemburu ya mentang-mentang nggak dipeluk sama Abi”. Apapun yang ada di pikiran anak-anak kadang kita tidak tahu. Itulah lucunya dunia anak-anak meskipun semua orang dewasa pernah mengalami masa kanak-kanak. Namun tak jarang orang dewasa yang tak mampu memahami maksud jalan pikiran yang ada dalam benak kanak-kanak.
Sejenak setelah makan malam Abi merebahkan diri di sofa, sedangkan Umi menyimpan tas kerja Abi di tempat biasanya. Lalu Alif ?. Oh, Anda mungkin bisa menebak apa yang sedang dilakukan kanak-kanak usia empat tahun itu. Menghampiri Abinya lalu pura-pura memijit kakinya. Tidak terlalu keras memang. Tapi lumayanlah untuk tenaga seorang anak kecil.

“Abi capek ya?”, tanya Alif sambil tangannya memijit-mijit kaki ayahnya (meski sebenernya lebih mirip remasan daripada pijitan).

“Udah nggak capek lagi, wah anak Abi pintar mijit ya”, puji Abi agak bohong dikit buat nyenengin si buah hati.

“Bi, dulu waktu masih kecil cita-cita Abi apa sih?”, tanya Alif.

“Hemm, apa ya?, Abi mau jadi guru”, jawab Abi singkat.

“Kok, sekarang Abi nggak jadi guru?”, tanya Alif penuh selidik.

“Lho, sekarang bukannya Abi udah jadi guru ya?. Guru pribadinya Alif”, jawab Abi mencoba berkilah.

“Bi, apa pentingnya sih cita-cita itu?”, ucap Alif dengan sorot mata penuh kesungguhan.

“Dengarkan nak, Abi mau ceritakan kisah perang Khandak tatkala Rosulullah SAW beserta para sahabatnya dikepung oleh kaum musyrikin Quraisy. Kota Madinah dalam kondisi mencekam dan bahan makanan sangat sedikit. Kemudian salah seorang sahabat Nabi yang bernama Salman Al-Farisi berpendapat untuk menggali sebuah parit untuk bertahan dari serangan musuh. Lalu terjadilah sebuah keajaiban tatkala salah seorang sahabat mengeluh tidak bisa menggali tanah karena bebatuan cadas yang keras. Kemudian Rosulullah SAW mengambil alih cangkulnya. Dengan tiga ayunan cangkul maka bebatuan cadas itu bisa dihancurkan. Lalu bersabdalah Rosulullah SAW kepada para sahabatnya ketika kupukulkan cangkul untuk pertama kali maka diperlihatkan kepadaku istana Kisra Persia, pukulan kedua diperlihatkan kepadaku istana Romawi dan di pukulan ketiga diperlihatkan kepadaku desa-desa di negeri Habasyah.”, kata Abi kemudian terdiam sejenak.

“Wahai anakku, kau tahu apa maksud Abi tadi?”, tanya Abi. Sementara itu Alif hanya menggeleng-gelengkan kepalanya tanda tidak mengerti.

“Himmatul ‘Aliyah  atau cita-cita yang tinggi itu sangat dianjurkan dalam Islam. Seperti kisah tadi, meskipun kaum muslimin dalam keadaan sangat terdesak dan kecil kemungkinannya untuk menang. Namun karena diberikan motivasi cita-cita yang tinggi bahwa mereka akan mampu menguasai Persia dan Romawi yang saat itu keduanya adalah kerajaan terbesar di zamannya akhirnya mereka dapat memukul mundur pasukan musuh atas pertolongan Allah SWT. Nah, sekarang Alif juga harus memikirkan apa cita-cita Alif yang tertinggi.”, jelas Abi dengan penuh semangat bak seorang motivator kelas dunia (meskipun hanya sebatas dunia anak-anak).

“Jadi apa donk cita-cita tertingginya?”, tanya Alif masih sedikit bingung.

“Cita-cita tertinggi seorang muslim adalah meninggal dunia menghadap Tuhannya dalam keadaan husnul khotimah wal mautu fii sabilillah. Artinya mengakhirkan kehidupannya dengan akhir yang penuh kebaikan dan kematiannya berada pada jalan yang diridhoi oleh Allah”, terang Abi.
Alif hanya mengangguk-angguk kecil mendengar jawaban Abinya yang entah apa maksudnya ia sendiri masih belum mengerti apa itu husnul khotimah apa itu fii sabilillah. Tapi Alif kan anak yang baik dan sebagai anak yang baik itu menurut pada nasehat orang tuanya. Mungkin sekarang belum mengerti tapi beberapa tahun ke depan ia juga akan mengerti.
Alif sebenarnya ingin bertanya lagi tapi kepalanya sudah penuh dengan kata-kata yang membuatnya bingung jadi ia urungkan niatnya. Nampaknya Abi pun mengerti raut wajah anaknya itu dan berniat mengakhiri perbincangan hangat di antara mereka.

“Nak, apapun yang menjadi cita-citamu kerjakanlah dengan sungguh-sungguh. Kau boleh menjadi apa saja yang kau mau. Tapi ingat, jangan lupakan Allah. Terus berdoa kepada Allah agar apa yang kau cita-citakan terkabul”, kata Abi.

(Begitulah potret keluarga islami yang seharusnya. Dewasa ini banyak orang tua yang suka memaksakan kehendaknya kepada anak-anaknya. Diikutkan les sana-sini mulai dari matematika, bahasa inggris, musik dan les-les lainnya. Namun mereka seakan lupa untuk mengingatkan bahwa cita-cita terbesar seorang muslim adalah menghadap Tuhannya dan dimasukan ke dalam surga-Nya. Untungnya masih ada keluarga-keluarga semisal keluarga Abi Alif ini. Semoga potret keluarga ini bisa dicontoh oleh banyak keluarga muslim lainnya termasuk juga penulis sendiri. Aamiin )

***
Sebuah cerita sangat pendek ini saya tujukan kepada saudara-saudaraku sekalian khususnya bagi yang sudah mendapatkan buah hati, bagi yang sedang menantikan putra-putri, bagi yang hendak melangsungkan ikatan suci, pun juga bagi yang masih menantikan Teman Hidup yang dirahasiakan Illahi.



Semoga Bermanfaat :)

Dia Berhak Mengenal Tuhannya

(image from : http://darussalam-online.com)

(bagian 1)

Di pagi yang cerah di kala burung asyik bermain di atas ranting-ranting pohon kecil. Beterbangan kesana kemari riang gembira bak cerita dalam lagu anak-anak zaman dahulu kala. Mungkin duduk-duduk di bangku serambi depan adalah salah satu kebiasaan keluarga ini. Sang ayah membaca koran dan sang ibu membuatkan minuman teh hangat beserta cemilan pisang goreng hangatnya. Hemmm nikmaaatt... Lalu sang anak?. Jangan ditanya lagi sang anak sedang hobi sekali mengerjai Abi-nya merengek manja minta disuapi secomot pisang goreng yang aduhai nikmatnya itu. Nakal memang kanak-kanak usia empat tahun itu. Tapi jangan salah Abi-nya juga tidak kalah 'nakal' padanya. Alih-alih menyuapkan pisang goreng buatan Ummi yang terkenal kelezatannya itu, eh malah diembatnya sendiri pisang goreng itu oleh si Abi. 
"Ih, Abi... itu kan punya Alif Bii.", wajahnya cemberut sebal dengan mimik yang lucu menggemaskan.
"Kata siapa?, itu jatah Alif masih di piring masih ada", timpal sang ayah tidak mau mengalah.
"Tapi kan, Alif mau disuapin sama Abi!", teriaknya dengan mimik wajah yang membingungkan antara mendengus sebal atau mau mencari simpati.
"Ya sudah, Abi suapin tapi jawab pertanyaan Abi ya", kata Abi tegas (kalau saya boleh berkomentar raut wajahnya mirip dengan pemandu acara kuis di stasiun teve itu yang seolah-olah mengisyaratkan Anda Benar Saya Bayar,Hahaha).
"Oke, Abi apa pertanyaannya?", si anak bersemangat (karena iming-iming pisang goreng tentunya).
"Siapakah Tuhan kita?", tanya Abi serius tapi santai.
"Alif nggak tahu Bi", si anak mengernyitkan keningnya seraya garuk-garuk kepalanya yang cuma ditumbuhi rambut tipis itu (Abi-nya rajin memotong rambutnya tiap dua bulan).
"Kok, nggak tahu. Orang Islam harus tahu siapa Tuhannya", jawab Abi ringkas.
"Tapi Alif memang belum dikasih tahu Bi, lagian dia kan masih balita belum baligh", kali ini Umi ikut nimbrung belain anaknya.
"Umi, meskipun dia belum baligh tapi apakah ada jaminan bahwa kita sebagai orang tuanya diberikan kesempatan hidup hingga ia usia baligh?", jawab Abi bak seorang ustadz kondang hendak memberi sentuhan rohani.
"Dia adalah amanah yang harus kita jaga. Bukankah Allah Azza Wajala telah mengambil kesaksian seraya berfirman kepada setiap anak cucu Adam sebelum ia dilahirkan. 'Bukankah AKU ini TUHANMU?', lalu mereka menjawab 'Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi'. Maka semenjak saat itu tidak ada satupun alasan bagi manusia untuk tidak mengenal Tuhannya. Manusia dilahirkan sudah memiliki fitrah mengenal adanya Tuhan yang berkuasa atas dirinya dan alam di sekitarnya. Hanya saja ketika ia lahir ke dunia ia seakan lupa bagaimana menyembah Tuhannya. Tugas orang tuanyalah yang mengajarkannya. Setiap manusia berhak mengenal Tuhannya, begitu juga anak kita", sambung Abi dengan suara yang mantap.
Demi melihat semburat kebingungan di mata anaknya yang seakan-akan bertanya "Abi,Umi kalian ngeributin apa sich?" maka perlahan-lahan Abi mulai menerangkan kepada Alif sang buah hatinya tentang siapa itu Allah, mengapa kita harus menyembah-Nya, apa yang Allah janjikan kepada hamba-hamba-Nya yang bertakwa dan apa yang Allah berikan kepada orang-orang yang durhaka kepadaNya.
Si Alif kecil pun hanya manggut-manggut tanda mengerti atau bahkan sebaliknya bingung dengan pengetahuan-pengetahuan yang baru didapatnya. Masih banyak pertanyaan yang seolah seperti serangan balik dari pertanyaan ayahnya.
"Lantas dimana Alif bisa melihat Allah Bi?", tanya alif polos.
Tuh kan belum apa-apa sudah menanyakan pertanyaan yang mungkin sulit dijawab oleh para orang tua yang tidak mendalami agama. Awalnya dijawab Allah di langit. Lalu ditanya di langit yang mana dijawab langit ketujuh paling atas sekali. Di Bintang ya?, bukan tapi Allah-lah yang menciptakan bintang. Lalu dimana?. Dan karena saking frustasinya dan kedangkalan ilmunya kemudian dijawab Allah ada dimana-mana nak, di langit di bumi di hatimu. Dan hancurlah sudah akidah anak sedari kecil.
Namun sang ayah punya jawaban yang hebat untuk pertanyaan kritis anaknya yang masih polos itu.
"Allah ada di Arsy, singgasana Allah berada di langit ketujuh. Tapi Allah bisa tahu segala sesuatu yang terjadi di bumi ini baik yang terlihat maupun yang tersembunyi. Karena Allah Maha Melihat dan Maha Mendengar. Allah lebih dekat dari urat nadi kita bahkan sangat dekat dengan leher kita. Allah Maha Besar tidak ada sesuatupun yang menandingi kuasa-Nya. Ia jauh namun dekat bagi hamba-Nya yang ingin mendekat namun Ia seakan tak terlihat bagi orang yang menjauh dari-Nya padahal kasih sayang Allah selalu Ia curahkan kepada seluruh alam semesta ini dan segala isinya. Ibarat kau melihat rembulan di malam hari maka seolah kau menganggap bulan akan selalu mengikuti kemana langkahmu namun sejatinya ia tetap di atas sana. Begitulah ilmu Allah melingkupi semua isi langit dan bumi. Namun jangan khawatir nak, suatu saat kamu insya Allah akan bisa melihat wajah-Nya.", jelas Abi.
"Kapan itu Bi?", Alif menyela tanda rasa penasarannya memuncak.
"Ketika kita sudah berada di surga. Allah menjanjikan kepada hambaNya yang beriman untuk bisa melihat wajahNya di surga. Dan itulah kenikmatan yang tidak pernah bisa dibayangkan sebelumnya. Bahkan mengalahkan kenikmatan hidup dan tinggal di surga Allah yang indah itu",jawab Abi.
 "Alif ingin ke surga Bi!, Alif ingin melihat Allah!",ucap Alif riang.
"Iya, nak kita sama-sama berdoa agar kita diselamatkan oleh Allah dari adzab neraka dan dimasukan ke surgaNya kelak", balas Abi.
"Aamiin...", ucap Alif, Abi dan Umi (yang dari tadi sedikit dikasih kesempatan ngomong) kompak.

ALLAHHU AKBAR, ALLAHU AKBAR!... Tak disangka adzan sholat dzuhur pun berkumandang (padahal di jam si penulis baru menunjukan pukul 9.56 pagi) tanda keluarga ini harus memenuhi panggilan kepada Rabbnya. Dengan balutan keimanan dan akhlak mulia menjejakan langkah kaki ke masjid (yang entah kenapa membuat iri sang penulis) bermunajat bersama-sama kepada Sang Khaliq.

***
Sebuah cerita sangat pendek ini saya tujukan kepada saudara-saudaraku sekalian khususnya bagi yang sudah mendapatkan buah hati, bagi yang sedang menantikan putra-putri, bagi yang hendak melangsungkan ikatan suci, pun juga bagi yang masih menantikan Teman Hidup yang dirahasiakan Illahi.

Semoga Bermanfaat :)

Selasa, 06 Mei 2014

SEBAB-SEBAB “TIDAK DIKABULKANNYA” DOA


Setiap kita tentunya biasa berdoa kepada Allah. Kita memohon kepada-Nya agar hajat dan keinginan kita Ia kabulkan. Ketika kita benar-benar butuh, tidak jarang kita berdoa sambil mengiba kepada Allah. Namun barangkali tidak jarang kita merasa doa kita tidak dikabulkan, atau setidak-tidaknya tidak segera dikabulkan.

Ketika seseorang merasa doanya tidak kunjung dikabulkan, tidak jarang sejak saat itu ia pun tidak lagi berdoa dan tidak punya harapan bahwa doanya akan dikabulkan oleh Allah. Padahal sikap seperti ini dilarang oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Beliau bersabda, “Doa salah seorang dari kalian akan dikabulkan selagi ia tidak buru-buru. (Yakni jika) ia berkata, ‘Aku telah berdoa kepada Tuhanku, tapi doaku tidak dikabulkan’.” (HR Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad). Dalam lafazh Muslim disebutkan: “Ditanyakan, ‘Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan minta agar doa segera dikabulkan?’ Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ’(Yakni) hamba itu berkata, ‘Aku berdoa dan berdoa, tapi doaku tidak dikabulkan’.” (HR Muslim)
Kita semestinya menyadari bahwa ada banyak sebab mengapa sebuah doa tidak segera dikabulkan oleh Allah. Kita juga hendaknya paham bahwa hikmah besar pasti selalu ada di balik tidak dikabulkannya doa dalam waktu cepat. Di antara sebab dan hikmah itu adalah sebagai berikut.

Pertama, bisa jadi penyebab tertundanya pengabulan doa kita adalah karena kita belum memenuhi syarat-syarat diterimanya doa. Misalnya, kita tidak menghadirkan hati, tidak khusuk dan tidak merendahkan diri saat berdoa, kita berdoa bukan pada waktu dimana doa akan mudah dikabulkan, atau kita belum memenuhi syarat-syarat doa penting lainnya.

Kedua, terkadang doa tidak terkabul dikarenakan sebab tertentu seperti karena dosa yang kita belum bertaubat darinya, karena dosa di mana kita tidak bertaubat dengan jujur darinya, karena makanan kita mengandung syubhat, atau karena ada hak milik orang lain pada diri kita dan kita belum mengembalikannya. Karena itu, kita hendaknya bertaubat dengan taubatan nashuhah, dengan melengkapi syarat-syaratnya dan mengembalikan hak orang lain kepada pemiliknya terlebih dahulu hak orang lain tersebut masih ada pada diri kita. Inilah sebab terpenting tidak dikabulkannya doa. Disebutkan dalam hadits bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,“Hai Sa’ad (bin Abu Waqqash), makanlah makanan yang baik-baik, niscaya engkau menjadi orang yang doanya dikabulkan.” Juga disebutkan dalam sebuah hadits shahih bahwasanya Rasulullah mengisahkan seseorang yang rambutnya acak-acakan dan berdebu lalu menengadahkan tangannya ke langit untuk berdoa, ‘Ya Allah, ya Allah.’ Padahal, makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan keluarganya diberi makan dari sumber yang haram. Bagaimana doanya akan dikabulkan?” (HR Muslim, At-Tirmidzi, dan Ahmad). Oleh karena itu, kita harus berusaha membersihkan diri dari segala kotoran dosa yang bisa menjadi menghalangi ‘jalan-jalan’ terkabulnya doa.

Ketiga, bisa jadi Allah tidak mengabulkan doa kita karena Allah sengaja hendak menyimpan pahala doa kita tersebut untuk Ia berikan kepada kita di akhirat kelak atau karena Ia hendak menghilangkan keburukan dari kita. Diriwayatkan dari Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Jika di atas bumi ada seorang muslim berdoa kepada Allah dengan satu doa, maka Ia akan mengabulkan doa itu atau menghilangkan keburukan darinya, selagi ia tidak mengerjakan dosa atau memutus hubungan kekerabatan.” Seseorang berkata, “Bagaimana kalau kita memperbanyak doa?” Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Allah akan lebih banyak lagi mengabulkan doanya atau menghilangkan keburukan darinya.” (HR At-Tirmidzi, Ahmad, dan Al-Hakim). Dalam riwayat Al-Hakim ada tambahan: “Atau Allah akan menyimpan pahala seperti doanya itu untuknya.” (HR Al-Hakim). Bisa jadi, ini lebih baik bagi kita, sebab dengan disimpannya pahala doa kita di akhirat dan baru diberikan kepada kita saat itu, maka hal itu akan mengangkat derajat dan martabat kita di akhirat. Saat itu, kita akan berbahagia dan bahkan berharap sekiranya seluruh pahala doa kita disimpan dan baru dibagikan di akhirat.

Keempat, penundaan terkabulnya doa merupakan salah satu bentuk ujian dari Allah kepada seseorang. Allah ingin menguji iman orang itu. Ketika doa tidak segera dikabulkan, syetan membisikkan pikiran jahat kepada seseorang, dengan berkata kepadanya, “Apa yang kita minta itu ada pada Allah. Tetapi mengapa doa kita tidak segera dikabulkan?” Begitu pula, syetan akan menyusupkan bisikan-bisikan jahat lainnya. Setiap muslim harus melawan bisikan-bisikan jahat seperti itu dan mengusirnya dari dirinya, dengan segala sarana. Ia harus sadar bahwa bisa jadi Allah tidak segera mengabulkan doanya karena Allah hendak menguji imannya. Ketika doa tidak segera dikabulkan, maka iman seseorang teruji dan terlihatlah perbedaan antara orang beriman sejati dengan orang beriman gadungan. Sikap seorang mukmin tidak akan berubah terhadap Tuhannya hanya karena doanya tidak segera dikabulkan dan malah ia semakin rajin beribadah kepada-Nya.

Kelima, tidak segera dikabulkannya doa semestinya membuat seorang muslim tahu dan menyadari sebuah hakikat penting. Yaitu bahwa ia adalah hamba Allah, sementara Allah iadalah pemilik segala-galanya. Pemilik berhak berbuat apa saja terhadap miliknya, baik memberi ataupun tidak memberi. Jika Allah mau memberi, maka itu salah satu bentuk keadilan-Nya dan Ia pasti punya alasan yang kuat untuk itu. Sedangkan jika Ia tidak memberi, itupun salah satu bentuk keadilan-Nya dan Ia juga pasti punya alasan yang kuat untuk itu. Ada baiknya kita merenungkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam setelah Perdamaian Hudaibiyah yang sepintas lalu merugikan Rasulullah dan kaum muslimin. Ketika itu beliau bersabda,”Aku Rasulullah dan Allah tidak akan pernah akan menelantarkan aku.” (HR Al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad).

Keenam, terkadang doa yang tidak segera dikabulkan justru akan membuat kita semakin dekat kepada Allah, terus bersimpuh di hadapan-Nya, selalu merendahkan diri dan berlindung diri kepada-Nya. Sebaliknya, tidak jarang jika permintaan kita dikabulkan, maka kita menjadi lebih sibuk, lalu kita tidak lagi ingat kepada Allah, tidak meminta dan berdoa kepada-Nya, padahal keduanya adalah inti ibadah. Inilah realitas sebagian besar kita. Buktinya, jika tidak ada cobaan maka kita tidak berlindung kepada Allah.

Ketujuh, bisa jadi terkabulnya doa kita justru akan menjadikan kita berbuat dosa, akan berdampak buruk pada agama kita, atau akan menjadi fitnah bagi kita. Atau bisa juga apa yang kita minta itu sepintas lalu baik bagi kita padahal sebenarnya tidak baik bagi kita. Yang demikian ini terutama bagi seseorang yang mengajukan permintaan tertentu yang sangat spesifik kepada Allah dan tidak berdoa dengan doa-doa yang telah dituntunkan dalam Al-Qur’an atau yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Karena itu hendaknya kita memperhatikan doa-doa yang ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah.

Kedelapan, setiap doa punya ketentuan dan takaran. Adalah tidak masuk akal, hari ini seseorang yang amat miskin dan tidak melakukan usaha yang signifikan berdoa agar ia menjadi milyarder kaya raya pada esok paginya. Doa memiliki takaran, syarat, sebab, prolog, kerja keras, dan bahkan pengorbanan yang besar.
Kita harus ingat bahwa ketika Nabi Ya’qub ‘alaihissalam kehilangan anak kesayangannya, Nabi Yusuf ‘alaihissalam, beliau tidak henti-hentinya berdoa dan berdoa. Tapi pengabulan doa beliau tertunda hingga waktu yang lama, hingga ada yang mengatakan, “Nabi Ya’qub berdoa selama empat puluh tahun.” Penderitaan dan cobaan yang dialami Nabi Ya’qub ‘alaihissalam semakin meningkat. Anaknya yang lain, Bunyamin, juga hilang, sampai-sampai kedua matanya buta karena kesedihan yang mendalam. Kendati demikian, beliau tetap optimis bahwa semua penderitaan tersebut suatu saat akan berakhir. Ketika itulah, beliau berkata,“Mudah-mudahan Allah mendatangkan mereka semua kepadaku, sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (Yusuf: 83).
Demikian pula, Nabi Musa ‘alaihissalam pernah berdoa kepada Allah “Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau memberi kepada Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan pada kehidupan dunia. Ya Tuhan kami, akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan-Mu. Ya Tuhan kami, binasakan harta benda mereka, dan kuncilah mati hati mereka, karena mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih.” (Yunus: 88). Namun konon Allah baru mengabulkan doa beliau tersebut, sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah “Sesungguhnya permohonan kalian berdua dikabulkan” (Yunus: 89), setelah empat puluh tahun lamanya! Padahal yang berdoa adalah Nabi Musa ‘alaihissalam, salah seorang dari rasul-rasul Ulul ‘Azmi, sedangkan yang mengamininya adalah Nabi Harun ‘alaihissalam, seorang nabi yang mulia. Keduanya telah memenuhi semua syarat dan etika berdoa. Sementara pihak yang didoakan celaka ialah Fir’aun dan konco-konconya, yang sudah jelas manusia paling dzalim, fasik, dan kafir saat itu. Meski begitu, doa Nabi Musa tidak segera dikabulkan Allah, sebab doa tersebut adalah doa yang tidak sembarang doa. Diperlukan kerja keras dan pengorbanan untuk mewujudkannya. Itulah yang dimaksud dengan takaran doa. Dan ini harus benar-benar kita pahami.
Itulah beberapa hal yang menjadi penyebab sebuah doa tidak terkabul, berikut hikmah yang ada dibaliknya. Dengan mengetahui penyebab-peyebab dan hikmah-hikmah tersebut, semoga kita menjadi orang-orang yang tidak pernah bosan berdoa, karena doa adalah inti ibadah. Wallahu a’lam bish-shawab.

SUMBER