Kamis, 12 Juni 2014

Himmatul ‘Aliyah


Berhubung udah ada yang nagih lanjutan ceritanya karena udah lebih dari 1 pekan maka dengan mengucap Bismillah dengan ini saya persembahkan lanjutan ceritanya. Selamat membaca :)

(bagian 2)

Abi baru saja pulang dari kantor lantas disambut dengan pelukan anaknya yang lucu dan menggemaskan siapa lagi kalau bukan si Alif. Entah kenapa kanak-kanak itu merasa sangat bahagia melihat kedatangan ayahnya yang baru pulang bekerja dari kantor. Padahal setiap hari pun ayahnya selalu menemaninya meskipun di luar hari sabtu dan ahad jam ngobrol Alif dan Abi hanya sekilas setelah sholat Isya sebelum Alif tidur maupun sebelum berangkat kantor. Hanya mungkin lima atau sepuluh menit. Tapi kali ini kanak-kanak itu begitu antusiasnya menyambut sang ayah.

“Abi, abi tadi Alif diajarin nggambar pegunungan sama bu guru. Bagus lho, coba deh lihat”, kata sang anak.
Kata-katanya meluncur bak serbuan pesawat jet Sukhoi dengan kecepatan tinggi. Tidak peduli sang ayah mungkin sedang capek baru pulang dari bekerja.

“Alif, nanti dulu ya ngobrolnya sama Abi. Kasihan Abi kan pasti capek baru pulang dari kantor. Abi makan dulu gih, udah umi siapkan hidangannya di meja”, kata Umi yang baru keluar dari dapur.

“Tapi kan Alif Cuma mau liatin gambar aja ke Abi masa nggak boleh”, protes Alif setengah merajuk.

Dalam hatinya mungkin berkata “Ih, Umi mengganggu kesenangan anaknya aja nih” atau “Umi cemburu ya mentang-mentang nggak dipeluk sama Abi”. Apapun yang ada di pikiran anak-anak kadang kita tidak tahu. Itulah lucunya dunia anak-anak meskipun semua orang dewasa pernah mengalami masa kanak-kanak. Namun tak jarang orang dewasa yang tak mampu memahami maksud jalan pikiran yang ada dalam benak kanak-kanak.
Sejenak setelah makan malam Abi merebahkan diri di sofa, sedangkan Umi menyimpan tas kerja Abi di tempat biasanya. Lalu Alif ?. Oh, Anda mungkin bisa menebak apa yang sedang dilakukan kanak-kanak usia empat tahun itu. Menghampiri Abinya lalu pura-pura memijit kakinya. Tidak terlalu keras memang. Tapi lumayanlah untuk tenaga seorang anak kecil.

“Abi capek ya?”, tanya Alif sambil tangannya memijit-mijit kaki ayahnya (meski sebenernya lebih mirip remasan daripada pijitan).

“Udah nggak capek lagi, wah anak Abi pintar mijit ya”, puji Abi agak bohong dikit buat nyenengin si buah hati.

“Bi, dulu waktu masih kecil cita-cita Abi apa sih?”, tanya Alif.

“Hemm, apa ya?, Abi mau jadi guru”, jawab Abi singkat.

“Kok, sekarang Abi nggak jadi guru?”, tanya Alif penuh selidik.

“Lho, sekarang bukannya Abi udah jadi guru ya?. Guru pribadinya Alif”, jawab Abi mencoba berkilah.

“Bi, apa pentingnya sih cita-cita itu?”, ucap Alif dengan sorot mata penuh kesungguhan.

“Dengarkan nak, Abi mau ceritakan kisah perang Khandak tatkala Rosulullah SAW beserta para sahabatnya dikepung oleh kaum musyrikin Quraisy. Kota Madinah dalam kondisi mencekam dan bahan makanan sangat sedikit. Kemudian salah seorang sahabat Nabi yang bernama Salman Al-Farisi berpendapat untuk menggali sebuah parit untuk bertahan dari serangan musuh. Lalu terjadilah sebuah keajaiban tatkala salah seorang sahabat mengeluh tidak bisa menggali tanah karena bebatuan cadas yang keras. Kemudian Rosulullah SAW mengambil alih cangkulnya. Dengan tiga ayunan cangkul maka bebatuan cadas itu bisa dihancurkan. Lalu bersabdalah Rosulullah SAW kepada para sahabatnya ketika kupukulkan cangkul untuk pertama kali maka diperlihatkan kepadaku istana Kisra Persia, pukulan kedua diperlihatkan kepadaku istana Romawi dan di pukulan ketiga diperlihatkan kepadaku desa-desa di negeri Habasyah.”, kata Abi kemudian terdiam sejenak.

“Wahai anakku, kau tahu apa maksud Abi tadi?”, tanya Abi. Sementara itu Alif hanya menggeleng-gelengkan kepalanya tanda tidak mengerti.

“Himmatul ‘Aliyah  atau cita-cita yang tinggi itu sangat dianjurkan dalam Islam. Seperti kisah tadi, meskipun kaum muslimin dalam keadaan sangat terdesak dan kecil kemungkinannya untuk menang. Namun karena diberikan motivasi cita-cita yang tinggi bahwa mereka akan mampu menguasai Persia dan Romawi yang saat itu keduanya adalah kerajaan terbesar di zamannya akhirnya mereka dapat memukul mundur pasukan musuh atas pertolongan Allah SWT. Nah, sekarang Alif juga harus memikirkan apa cita-cita Alif yang tertinggi.”, jelas Abi dengan penuh semangat bak seorang motivator kelas dunia (meskipun hanya sebatas dunia anak-anak).

“Jadi apa donk cita-cita tertingginya?”, tanya Alif masih sedikit bingung.

“Cita-cita tertinggi seorang muslim adalah meninggal dunia menghadap Tuhannya dalam keadaan husnul khotimah wal mautu fii sabilillah. Artinya mengakhirkan kehidupannya dengan akhir yang penuh kebaikan dan kematiannya berada pada jalan yang diridhoi oleh Allah”, terang Abi.
Alif hanya mengangguk-angguk kecil mendengar jawaban Abinya yang entah apa maksudnya ia sendiri masih belum mengerti apa itu husnul khotimah apa itu fii sabilillah. Tapi Alif kan anak yang baik dan sebagai anak yang baik itu menurut pada nasehat orang tuanya. Mungkin sekarang belum mengerti tapi beberapa tahun ke depan ia juga akan mengerti.
Alif sebenarnya ingin bertanya lagi tapi kepalanya sudah penuh dengan kata-kata yang membuatnya bingung jadi ia urungkan niatnya. Nampaknya Abi pun mengerti raut wajah anaknya itu dan berniat mengakhiri perbincangan hangat di antara mereka.

“Nak, apapun yang menjadi cita-citamu kerjakanlah dengan sungguh-sungguh. Kau boleh menjadi apa saja yang kau mau. Tapi ingat, jangan lupakan Allah. Terus berdoa kepada Allah agar apa yang kau cita-citakan terkabul”, kata Abi.

(Begitulah potret keluarga islami yang seharusnya. Dewasa ini banyak orang tua yang suka memaksakan kehendaknya kepada anak-anaknya. Diikutkan les sana-sini mulai dari matematika, bahasa inggris, musik dan les-les lainnya. Namun mereka seakan lupa untuk mengingatkan bahwa cita-cita terbesar seorang muslim adalah menghadap Tuhannya dan dimasukan ke dalam surga-Nya. Untungnya masih ada keluarga-keluarga semisal keluarga Abi Alif ini. Semoga potret keluarga ini bisa dicontoh oleh banyak keluarga muslim lainnya termasuk juga penulis sendiri. Aamiin )

***
Sebuah cerita sangat pendek ini saya tujukan kepada saudara-saudaraku sekalian khususnya bagi yang sudah mendapatkan buah hati, bagi yang sedang menantikan putra-putri, bagi yang hendak melangsungkan ikatan suci, pun juga bagi yang masih menantikan Teman Hidup yang dirahasiakan Illahi.



Semoga Bermanfaat :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar